DESUBLIMASI REPRESIF AKUT INDONESIA
Tahukah anda bahwa tubuh kita terdiri atas susunan-susunan nafsu
kapitalisme?. Nafsu untuk memproduksi barang-barang yang “dibutuhkan”
manusia secara sadar atau secara tidak sadar dengan memeras keringat
para buruh tanpa ada kompensasi yang wajar dan juga eksplorasi
sumberdaya alam negara ketiga secara besar-besaran. Produksi yang besar
akan membawa keuntungan yang besar pula, namun jelas sekali untung tidak
akan masuk ke dalam kantong para buruh, hanya masuk ke dalam kantong
para pemilik modal serta para komprador-komprador dunia ketiga.
Tubuh kita telah melekat produk kapital, baju-baju yang kita pakai,
rokok yang kita hisap, sandal-sandal, bahkan celana dalam kita tak lepas
dari sebuah manifestasi nafsu kapital. Sebuah produksi besar-besaran
tersebut kini merambah sebuah dunia lain, dunia antah berantah kinipun
tercemar dengan raksasa bernama kapitalis. Produk-produk yang menjadi
“dibutuhkan” (secara dipaksa maupun sukarela) kini merambah jenis lama
yang baru. Dahulu bahan-bahan bikinan manusia, jasa-jasa, kini membentuk
hal yang baru.
Pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan,
khayalan-khayalan, hiburan-hiburan, agama, ketenangan jiwa, kini menjadi
sebuah komoditas yang baru. Bahkan uang pun menjadi sebuah komoditas
yang asyik untuk digulirkan sebagai produk-produk yang “dibutuhkan” oleh
umat manusia. Bahan produksi yang dahulu cuma sumberdaya yang mati kini
bertambah dengan adanya manusia sebagai bahan bakunya.
Hal ini
membentuk budaya konsumerisme, budaya lama yang baru yang membentuk
hidup manusia selama berabad-abad lamanya setelah adanya zaman revolusi
industri di inggris. Konsumerisme menimbulkan perasaan tak berdaya
sekaligus rasa takut yang makin akan kehilangan atau perubahan. Uang
dulu menjadi sebuah alat kepercayaan tukar-menukar dalam hidup manusia
(karena sebenarnya nilai intrinsiknya tidak lebih besar dari barang yang
ditukar) kini menjadi sebuah kebutuhan, sebuah penjungkir-balikan
nilai-nilai kebudayaan suatu negara dengan mengartikan uang sebagai
“kebebasan”.
Semakin kita kaya semakin dalam kita diperbudak oleh
kecanduan akan uang dan akan apa yang bisa dibeli. Bagi kaum miskin,
konsumerisme melibatkan semakin banyaknya proses yang dilukiskan Hassan
Fathy sebagai “pemaksaan perekonomian uang tunai terhadap kaum miskin
yang tidak memiliki uang tunai”. Sebagaimana dalam sebuah negara contoh
pemaksaan perekonomian tersebut terlihat dalam menilai kesejerahteraan
negara dengan melihat GNP suatu negara.
Ketidakberdayaan kian
kuat dengan adanya adanya sebuah pembagian sekaligus pemisahan antara
manusia, sebagai konsekuensi logis adanya globalisasi. Seperti kata
Marx, semua manusia akan ter”spesialisasi” dalam struktur-struktur
kehidupan. Kita tidak bisa menjadi penyair sekaligus nelayan, kita harus
menjadi penyair atau seorang nelayan. Kita pun demikian,
tersepesialisasi menjadi unsur-unsur kapitalistik. Pendidikan kita saat
ini menganut sistim ini pula. Masing-masing terspesialisasi sesuai
bidang yang dimiliki, contoh; jika kuliah di jurusan ekonomi, maka akan
spesial pada ekonomi pula. Kita akan sulit melawan. Bahkan menjadi
sebuah anekdot ketika seorang mahasiswa menolak dengan utuh kapitalistik
namun di jaketnya terdiri macam-macam produk asing yang jelas-jelas
berasal dari negeri kapitalis.
Ruang-ruang perlawanan kini hanya
tersedia melalui sebuah wilayah yang kadang tidak dipahami masyarakat
luas, transendental, bahkan abstrak. Sebagai contoh mahasiswa makin
banyak menulis tentang penjajahan-atau hanya bisa?. Sebuah sisi
perlawanan yang diambil oleh mahasiswa yang mungkin lebih menyenangkan
ketimbang harus berdarah-darah dalam berjuang. Bukan berarti menulis itu
tidak penting. saya bukan penganut hitam-putih, hanya saja menulis itu
adalah sebuah komponen dari sebuah perjuangan, tentunya tidak bisa kita
memisahkan satu wilayah perjuangan “melawan” dengan wilayah yang lain.
Kalaupun hanya satu wilayah saja, maka akan pincang. Atau bahkan justru
terjebak dalam sebuah penghelatan peng-aminan terhadap budaya
kapitalistik, ter-spesialisasi.
Desublimasi represif akut, sebuah
penjajahan terhadap manusia tanpa manusia itu sadar bahwa dirinya
dijajah. Itulah yang membentuk negara kita saat ini. Perlu adanya sebuah
sentakan-sentakan yang bisa menyadarkan seluruh manusia indonesia. Emha
pun pernah berceloteh, bahwa tidak ada sebuah ilmu sosial yang mampu
mengatasi semua permasalahan di indonesia.
Tidak ada lagi zorro
masa kini, tidak ada nelayan sekaligus penyair, tidak ada mahasiswa
sekaligus perubah zaman, akuilah! Atau kita justru terjebak dalam sebuah
hiprokrit berjamaah?. Mari kita bercermin pada diri kita, sudahkah kita
melawan dengan benar?
Komentar
Posting Komentar