SAYA MEMILIH KARENA SAYA MANUSIA
SAYA MEMILIH KARENA SAYA MANUSIA
Seseorang tidak akan menjadi manusia secara utuh jika apa yang ia pilih adalah sesuatu yang dipilihkan. Memilih adalah proses melatih kemampuan untuk memanusiakan diri. Pilihan jernih bukanlah suatu adaptasi hasil kekangan dari pranata sosial ataupun norma sosial yang berlaku secara konsensus di masyarakat. Adaptasi semacam ini merupakan bentuk pertahanan diri yang rapuh.
Misalnya sebuah ayat yang menjelaskan potensi manusia, Allah swt berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q. S. al-Syams [91]: 7-10).
Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah mengajarkan manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh berbeda, Mujahid juga menafsirkan kata alhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia.
Dalam ayat ini, manusia sebagai makhluk rasional diberikan keleluasaan untuk memilih dua hal; kebaikan dan keburukan. Dalam beberapa potongan ayat, Allah menyindir manusia agar mendayagunakan anugerah agung yang diberikan kepada manusia; inti dari potongan ayat tersebut adalah apakah kamu tidak berfikir? apakah kamu tidak berakal? apakah kamu tidak merenungkan? dan lain sebagainya.
Ingat pernyataan Imam Al Ghazali, Bila kehidupan tidak diisi dengan kebaikan sudah pasti akan terisi dengan keburukan. Hidup tidak mengenal standar ganda.
Dalam hal ini, ada hal mendasar yang membuat saya memilih agama yang saya yakini. Saya memilih Islam karena saya sadar bahwa saya mempunyai otoritas penuh terhadap diri saya. Dan saya berpegang bahwa suatu hal yang mendasar (seperti agama) adalah pilihan diri dengan penuh kesadaran dan bukan karena dipilihkan orang tua, tetangga, ustadz atau teman.
Allah menyindir perilaku orang-orang menerima agama pilihan orang sebagai pegangan untuk menjalani hidup; Allah swt berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Al-Baqarah [2:170]).
Ayat ini menyindir seseorang yang tidak mau mendayagunakan pikiran mereka dan hanya berpuas diri untuk memilih keyakinan nenek moyang mereka tanpa melakukan analitis kritis terhadap kebenaran yang dipegang nenek moyang mereka.
Nampak jelaslah, bahwa Allah menganugerahkan potensi agung berupa pikiran agar manusia mampu mandiri menentukan pilihan, dan bukan dipilihkan. Pilihan yang dipilihkan adalah sebuah upaya untuk mendehumanisasikan manusia itu sendiri. Karena manusia tercipta sebagai subjek berfikir bukan objek yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan adalah kekhasan tingkah laku binatang yang hanya menegasikan kreatifitas manusia sebagai makhluk yang unik.
Komentar
Posting Komentar