KEMISKINAN DAN KEBODOHAN

 KEMISKINAN DAN KEBODOHAN

Kemiskinan memang sudah menjadi PR klasik bagi negeri ini. Negeri yang melimpah ruah kekayaan alamnya. Sangat ironis memang, negeri yang melimpah ruah kekayaan alamnya ini tidaklah bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyaatnya. Justru tangan-tangan asing yang mengeksploitasi kekayaan tersebut. Rakyat Indonesia yang notabene-nya tuan-rumah yang memiliki semua kekayaan tersebut hanyalah bisa melihat getir kekayaan alamnya yang dikuras habis oleh tangan-tangan asing. Sebut saja mafia migas yang sampai sekarang masih menggerogoti devisa negara dengan leluasa. Lebih ironis lagi, rakyat indonesia justru menjadi budak-budak di negaranya sendiri. Mereka menyerah tak berdaya terhadap gobalisasi dan persaingan pasar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan adalah solusi dari segala bentuk keterbelakangan ini. Kurangnya perhatian dalam bidang pendidikan di gadang-gadang sebagai pemicu keterpurukan bangsa Indonesia. Banyak di antara rakyat Indonesia yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan. Bahkan banyak di antara mereka yang hanya berfikir secara pragmatis.
Masyarakat Indonesia, khususnya rakyat miskin negeri ini masih terbelenggu oleh kejumudan dalam berfikir. Contoh riil dalam kasus ini adalah masyarakat tempat penulis tinggal, tepatnya di daerah Lamongan, masih banyak warga Lamongan di daerah penulis tinggal yang hidup dalam garis kemiskinan. Mereka menikmati kemiskinan tersebut. Banyak di antara anak-anak muda di daerah tersebut yang putus sekolah dan beralih profesi untuk mengadu nasib ke negeri jiran. Kebanyakan orang-orang miskin di daerah tersebut beranggapan bahwa sekolah itu tidak penting. Mereka juga beranggapan bahwa pendidikan tidaklah bisa menyelesaikan berbagai persoalan praktis dalam kehidupan mereka.
Bahkan ada rumor yang berkembang di masyarakat Indonesia, bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk mencari pekerjaan. Jika orang miskin sudah dapat pekerjaan yang menurut mereka mapan, misalnya buruh bangunan, tukang cukur, tukang kayu, tukang las, pegawai bengkel dan lain-lain, maka mereka akan menganggap bahwa pendidikan itu tidaklah penting. Sebab mereka sudah menjalankan subtansi dari pendidikan tersebut. Banyak di antara orang miskin yang hanya berfikir bagaimana bisa makan hari ini? Bagaimana membayar hutang hari ini? Bagaimana memenuhi kebutuhan anak dan istri hari ini? Cara berfikir pragmatis, instan dan pendek seakan-akan menjadi trend bagi pola hidup masyarakat miskin di negeri ini.
Dengan pola hidup yang demikian, maka orang-orang miskin sangat sulit untuk bisa survive dalam melakukan persaingan pasar. Bahkan mereka hanya akan menjadi buruh di rumahnya sendiri. Tanah-tanah mereka akan dengan mudah mereka berikan kepada para pengusaha dengan iming-iming lembaran rupiah yang melenakan hatinya. Akhirnya, beton-beton besar tertanam kuat di lahan mereka. Limbah-limbah menjadi bagian dari hidup mereka, karena mereka hanya berfikir untuk hidup hari ini. Akibatnya, tanah-tanah yang biasanya mereka tanami menjadi tandus. Mereka hanya berfikir untuk hidup sekarang dan tidak memikirkan dampak yang akan terjadi mendatang, ketika anak-anak cucu mereka hidup nanti.
Jika memang demikian, maka kemiskinan dan kebodohan akan menjadi lingkaran setan yang tak kunjung usai di negeri ini. Negeri yang berlimpah kekayaan alam hanya akan menjadi lahan eksploitasi tangan asing. Para Qarun globalisasi akan bertumbuh subur di negeri ini. Para Qarun tersebut tidak segan-segan untuk melakukan tindakan represif untuk kemapanan status quo mereka. Mereka mengeksploitasi kemanusiaan dan juga sumber daya alam.
Perlu adanya upaya penyadaran kelas untuk menyadarkan akan ketertindasan masyarakat yang hidup di negeri ini. Penyadaran dari kemiskinan, kebodohan, ketertindasan dan keterbelakangan. Dan penyadaran tersebut tidak lain dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Pendidikan menjadi solusi sentral untuk melakukan transformasi sosial di negeri ini. Tentunya, pendidikan disini haruslah membebaskan. Pendidikan bukan menjadi penjara yang pengap, gerah dan membosankan. Akan tetapi pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang membebaskan.
Paulo Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” memberikan solusi yang cukup menarik dalam kaitannya dengan pendidikan yang membebaskan. Dalam buku tersebut, Paulo Freire menantang pendidikan dengan “sistem bank”, yaitu pendidikan yang hanya menjadikan murid sebagai subyek yang kosong. Tidak memiliki pengetahuan. Dan oleh karena itu, murid hanya sebagai tempat deposit belaka. Akibatnya, murid akan gampang bosan dan merasa teralienasi dalam proses pendidikan.
Untuk merontokkan sistem bank tersebut, Freire memberikan alternatif dengan menciptakan sistem baru yang dinamakan “Problem Posing Education”. Dalam pendidikan sistem ini, guru akan belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Murid diporsikan sebagai realitas yang dinamis dan bukan statis. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dengan merangsang daya pemikiran kritis murid. Dalam proses ini, Freire juga berusaha memberikan penyadaran bagi kaum tertindas yang olehnya dinamakan dengan istilah humanisasi. Dalam proses humanisasi tersebut, tidak hanya memberikan penyadaran bagi kaum tertindas, akan tetapi proses humanisasi tersebut juga memperjuangkan bagaimana manusia yang tertindas ini tidak berbalik menjadi penindas. Dengan adanya pendidikan yang mampu melakukan penyadaran kaum tertindas, maka diharapkan masyarakat negeri ini akan mampu “Move On” dari segala bentuk keterpurukan yang selama ini menghantui masyarakat negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan dan Perbedaan Filsafat Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam

Review Pengantar Evaluasi Pendidikan

Sejarah Singkat Himpunan Pemuda Muslim Mencorek (HPMM)