MENDESAIN ARSITEK UMAT
MENDESAIN ARSITEK UMAT
Arsitek itu tidak harus banyak karena yang harus banyak itu adalah para kuli. Arsitek bisa mengerjakan pekerjaan kuli tapi tidak sebaliknya. Begitu pula dengan cendikiawan, cendikiawan itu tidak harus banyak karena yang harus banyak itu adalah para pengikut. Cendikiawan itu ibarat arus, di permukaan dia terlihat tenang, tapi diam-diam dia menggerakkan gelombang. Kata-kata ini terus didengungkan oleh Muhammad Khusnul Khuluq sebagai pengantar diskusi yang digelar oleh klub diskusi Mahzab Poros Tengah Ulil Abshar.
Penamaan klub diskusi ini sebenarnya memuat
makna-makna filosofis. Poros tengah diartikan dengan gerakan yang tidak memihak
dan berada ditengah-tengah dua mainstream pemikiran yaitu konservatif dan
liberal. Ulil abshar sendiri diambil dari bahasa arab yang artinya orang yang
mempunyai pandangan tajam. Maksudnya, gerakan ini diharapkan mempunyai
pandangan yang kritis tanpa memihak dua mainstream di atas. Kelompok diskusi
ini beranggotakan mahasiswa-mahasiswa PPUT (Program Pendidikan Ulama Tarjih)
Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2011 dan 2013.
Senin, 16 Mei 2014 pukul 20.30 WIB menjadi
malam yang bergolak pada diskusi tersebut. Pasalnya, diskusi saat itu tampil
beda dengan hadirnya bapak Drs. Agus Purwadi, M.Si yang memberikan
pandangan-pandangan kritis lagi fundamental tentang tema yang dibahas. Fokus
diskusi saat itu mengkaji tokoh pemikir Islam progresif yang bernama Ahmad
Wahib. Tokoh ini menulis gagasan-gagasan tentang pengembaraan spiritualnya
dalam bentuk catatan harian. Kemudian setelah sepeninggalnya, catatan-catatan
tersebut di bukukan oleh Johan Efendi dan Ismet Natsir dengan judul “Pergolakan
Pemikiran Islam Ahmad Wahib”.
Menurut Agus Purwadi, buku Pergolakan
Pemikiran Islam Ahmad Wahib ini menjadi buku favorit para penggiat keilmuan
saat dia masih mahasiswa dulu. Banyak orang yang terkagum-kagum dengan catatan
hariannya Ahmad Wahib. Buku ini sebenarnya menjadi kritik atas pembesar umat
Islam yang dulu akrab sekali dengan dunia politik dan terkesan mengambil Al-Quran
dan Al-Hadits untuk kepentingan politiknya saja. Purwadi menamakan upaya Ahmad
Wahib ini sebagai dekonstruksi keagamaan.
Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib ini terbilang
unik dan bahkan tidak sedikit yang menganggapnya kontroversial. Diantara
gagasan yang unik tersebut adalah gagasannya tentang Islam menurut saya = Islam
menurut Allah. Pada gagasan tersebut wahib mengatakan, “aku belum tahu apakah
Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir,
Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan,
Islam menurut subki, Islam menurut yang lain-lain. Kemudian wahib mengatakan
saya ingin Islam menurut Allah, pembuatnya. Lebih lanjut wahib menegaskan bahwa
Islam menurut Allah itu adalah Islam yang ia fahami.
Diskusi kemudian semakin menghangat dengan
adanya tanggapan dari para peserta diskusi. Para peserta yang notaben-nya
para penggiat keilmuan menawarkan gagasan-gagasan kritis yang variatif, hingga
pada akhirnya diskusi ini berakhir pada satu kesimpulan bahwa Ahmad Wahib ini
memberikan sumbangsih besar terkait nalar keilmua Islam.
Komentar
Posting Komentar