Reformulasi SDM Melawan Ketertindasan
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
dimuat di Harian Bhirawa. Rabu, 11 Juni 2014
Setiap orang
menginginkan kebebasan tanpa ada kekangan, terlepas dari segala bentuk
tirani. Tirani bak jeruji yang hanya mengebiri kebebasan manusia.
Manusia yang terbelit tirani seperti burung yang terperangkap kedalam
sangkar. Tirani-tirani itu termanifestasi dalam beberapa hal. Bisa
berupa kebodohan, kemiskinan, ketidak beruntungan dalam mengenyam bangku
sekolah dan lain-lain. Yang jelas, itu semua adalah bentuk tirani yang
mendiskriminasi kehidupan manusia.
Seseorang mudah terpengaruh akan lingkungan karena ketidakberdayaannya
dalam memberikan proteksi dirinya, sehingga ia hanya nurut saja, tanpa
adanya protes. Manusia yang lemah maka akan tertindas dan banyak juga
yang manusia yang tertindas akan tetapi tidak sadar jika ditindas. Dia
tertindas oleh retorika pembebasan yang menipu, tertindas oleh
kesewenang-wenangan penguasa dan tertindas karena sistem yang membelit.
Umumnya, orang yang tertindas adalah kelompok yang tergolong sebagai
komunitas pinggiran. Kita ambil contoh saja para petani. Sebenarnya,
para petani itu tertindas oleh kelaliman penguasa. Mereka sengaja
dicetak menjadi miskin akan tetapi mereka tidak merasa. Dan inilah yang
seringkali kita kenal dengan istilah kemiskinan sistemik. Mereka
termiskinkan oleh sistem. Cobalah dipikir, dari mana para elit penguasa
yang malas itu bisa makan kalau tidak dari tangan ringkis para petani.
Merekalah para elit kapitalis, lebih suka menjajah negeri sendiri dari
pada membebaskan kaum proletar dari ketertindasan. Kemiskinan ini malah
sengaja diciptakan untuk eksistensi para penguasa. Dalam istilah yang
terdapat dalam teori sosial hal ini dinamakan desublimasi represif,
dimana orang-orang yang tertekan itu merasa menikmati terhadap
tekanan-tekanan yang ada. Orang-orang yang tertekan tersebut lebih
memilih untuk menikmati ketertindasannya dari pada harus memberontak dan
mengusik status quo penguasa. Sering kita jumpai di sekitar kita,
berapa banyak para tukang becak yang tertawa lepas ditengah-tengah
kemelaratannya mengayuh becak reot yang menjadi sumber mata
pencahariannya. Mereka menikmati tanpa berani mengkritik penguasa dan
mereka seakan lupa jika negerinya itu adalah negeri yang kaya.
Nah, melihat fenomena ini, dari manakah indonesia bisa dikatakan negeri
yang merdeka? Itu semua nonsense. Merdeka hanyalah untuk para penguasa.
Sedangkan untuk rakyat, ibarat punguk merindukan bulan. Terlalu jauh
kata-kata merdeka itu bisa dinikmati dengan nikmat oleh rakyat.
Bahkan pada kurun waktu belakangan ini, ketika pesta demokrasi digelar
dan menggeliat, iming-iming janji dari para capres seakan menjadikan
telinga rakyat tuli dari janji-janji kosong yang dulu pernah dikatakan,
buta dari pengalaman pahit ditipu para penjahat bertopeng malaikat,
terkecoh dengan pencitraan dan opini sesat yang direkayasa oleh pihak
tertentu untuk memberikan kesan baik terhadap figur yang sesungguhnya
tidak baik, terlalu mudah percaya berita dan opini yang dibentuk
pemberitaan media mengenai karakter, integritas dan kredibiltas seorang
tokoh, begitu kasat mata rekayasa pencitraan yang dibangun secara
sistematis, masif, terencana dan pasti menghabiskan uang yang sangat
besar untuk pencitraan tokoh yang diusung. Banyak tokoh yang semula
disanjung dan diteladani, kemudian terbukti tidak lebih dari seorang
penipu. Ketika mereka kabur, tinggalah rakyat korban penipuannya
menangis menderita meratapi kerugiannya.
Tentunya, setelah kita mengetahui akan hal ini, pastilah kita tidak
tinggal diam dan menurut atas segala keadaan. Menurut hanya menyebabkan
nurani membuta. Menurut juga hanya menjadikan kebrutalan mereka menjadi
tidak terkendali. Jadi, sudah saatnya kita menolak, melawan dan
mendobrak tirani.
Melawan segala bentuk penindasan dan menjadi pembebas bagi orang-orang
yang tertindas karena tidak ada kemerdekaan tanpa adanya perlawanan.
Diantara langkah awal untuk memerangi ketertindasan diri adalah dengan
cara memerangi kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ketiga faktor diatas, yaitu faktor
kebodohan, keterbelakangan dan kemisikinan adalah menjadi faktor
penyebab dari ketertindasan bangsa ini.
Bangsa ini sebenarnya sangat kaya dengan kekayaan alamnya. Akan tetapi karena kurangnya ketersediaan SDM berkualitas yang memadai akhirnya bangsa ini kemudian menjadi budak di negeri sendiri. Dengan demikian, sudah sepatutnya bangsa ini melakukan reformulasi SDM berkualitas untuk memerangi ketiga virus diatas dan membebaskan rakyat dari belitan penindasan diri yang diusung secara sistemik di negeri nan kaya raya ini.
Bangsa ini sebenarnya sangat kaya dengan kekayaan alamnya. Akan tetapi karena kurangnya ketersediaan SDM berkualitas yang memadai akhirnya bangsa ini kemudian menjadi budak di negeri sendiri. Dengan demikian, sudah sepatutnya bangsa ini melakukan reformulasi SDM berkualitas untuk memerangi ketiga virus diatas dan membebaskan rakyat dari belitan penindasan diri yang diusung secara sistemik di negeri nan kaya raya ini.
———— *** ————
Komentar
Posting Komentar