SETTING KEBENARAN SISTEM
Saya
pernah diajarkan kebenaran oleh sistem, sehingga jika sistem mengatakan
ini benar, maka saya harus membenarkannya. Sistem seakan menggantikan
peran kitab suci. Kebenaran yang saya fahami kemudian terbangun secara
masif dan sistemik.
Lantas, apa yang sebenarnya benar akan saya salahkan karena menyimpang dari sistem yang saya percaya. Terkadang, hanya kepentingan golongan saya rela bertikai dengan sahabat sendiri. Padahal tidak ada alasan kebenaran yang membingkai keyakinanku itu.
Saya memperjuangkan golongan, tapi setelah itu meninggalkan nilai-nilai kebenaran. Dan nilai-nilai kebenaran yang seringkali saya tinggalkan itu adalah dakwah. Padahal konsep dakwah mengatakan "katakanlah kebenaran meski pahit terasa", tapi lagi-lagi jika bebenturan dengan sistem, lidahku lantas kelu untuk menyuarakan kebenaran. Tidak lagi kebenaran yang di usung, akan tetapi kepentingan.
Saya jadi teringat sama peristiwa yang menimpa Quzman. Dia adalah pejuang perang uhud yang gagah berani. Tujuh, bahkan delapan musyrikin akan dilibas dengan mudah jika berpapasan dengannya. Lantas, diakhir pertempuran, para sahabat mendapatinya dengan luka mengangah di sekujur tubuhnya. Dengan sigap, para sahabat lantas mendatanginya dan membopongnya ke perkampungan Bani Zhafr, akan tetapi di saat dia ditanya tentang alasannya ikut berperang, diapun berkata : "Demi Allah, aku ikut berperang hanya karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tak akan sudi berperang". Selang beberapa saat kemudian, rasa sakit yang ia derita semakin menyayat pada sekujur tubuhnya, dan diapun memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan "bunuh diri". Hal itu kemudian di adukan kepada baginda Nabi. Maka Nabi bersabda : "Dia termasuk penghuni neraka".
Ah, ternyata tanpa saya sadari saya sudah terjerat pada kebenaran sistem kesukuan. Kebenaran yang saya perjuangkan ternyata kebenaran palsu. Kebenaran yang saya kemas baik dengan retorika bahasa. Sahabat-sahabat saya ternyata banyak juga yang terjerat sama kebenaran sistemik. Mereka bela mati-matian. Sampai kewajiban yang di amanahkan orang tua di nomor sekian kan. Akhirnya, kewajiban itu mereka relakan untuk tergadai dengan sesuatu yang mereka asumsikan kebenaran. Padahal, apa yang mereka perjuangkan ternyata kebenaran palsu.
Tapi mungkin ini soal beda persepsi. Apa yang saya katakan benar mungkin salah di benak para sahabatku. Saya menghargai akan hal itu. Akan tetapi keadilan tetaplah keadilan. Keadilan bukanlah kuasa mayoritas terhadap minoritas, Tapi keadilan adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tendensi kepentingan mayoritas dengan mendiskreditkan minoritas adalah jauh dari nilai keadilan.
Dan ternyata, tanpa sadar saya telah terjerumus pada lembah fanatisme golongan. Kebenaran yang terbentuk oleh sistem manusia bukan sistem Tuhan.
Wal 'Iyaadzu billahi.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّة وليس منا من قاتل علي عصبية وليس منا من مات علي عصبية
Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena ashabiyyah (HR Abu Dawud).
Introspeksi Diri.
Lantas, apa yang sebenarnya benar akan saya salahkan karena menyimpang dari sistem yang saya percaya. Terkadang, hanya kepentingan golongan saya rela bertikai dengan sahabat sendiri. Padahal tidak ada alasan kebenaran yang membingkai keyakinanku itu.
Saya memperjuangkan golongan, tapi setelah itu meninggalkan nilai-nilai kebenaran. Dan nilai-nilai kebenaran yang seringkali saya tinggalkan itu adalah dakwah. Padahal konsep dakwah mengatakan "katakanlah kebenaran meski pahit terasa", tapi lagi-lagi jika bebenturan dengan sistem, lidahku lantas kelu untuk menyuarakan kebenaran. Tidak lagi kebenaran yang di usung, akan tetapi kepentingan.
Saya jadi teringat sama peristiwa yang menimpa Quzman. Dia adalah pejuang perang uhud yang gagah berani. Tujuh, bahkan delapan musyrikin akan dilibas dengan mudah jika berpapasan dengannya. Lantas, diakhir pertempuran, para sahabat mendapatinya dengan luka mengangah di sekujur tubuhnya. Dengan sigap, para sahabat lantas mendatanginya dan membopongnya ke perkampungan Bani Zhafr, akan tetapi di saat dia ditanya tentang alasannya ikut berperang, diapun berkata : "Demi Allah, aku ikut berperang hanya karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tak akan sudi berperang". Selang beberapa saat kemudian, rasa sakit yang ia derita semakin menyayat pada sekujur tubuhnya, dan diapun memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan "bunuh diri". Hal itu kemudian di adukan kepada baginda Nabi. Maka Nabi bersabda : "Dia termasuk penghuni neraka".
Ah, ternyata tanpa saya sadari saya sudah terjerat pada kebenaran sistem kesukuan. Kebenaran yang saya perjuangkan ternyata kebenaran palsu. Kebenaran yang saya kemas baik dengan retorika bahasa. Sahabat-sahabat saya ternyata banyak juga yang terjerat sama kebenaran sistemik. Mereka bela mati-matian. Sampai kewajiban yang di amanahkan orang tua di nomor sekian kan. Akhirnya, kewajiban itu mereka relakan untuk tergadai dengan sesuatu yang mereka asumsikan kebenaran. Padahal, apa yang mereka perjuangkan ternyata kebenaran palsu.
Tapi mungkin ini soal beda persepsi. Apa yang saya katakan benar mungkin salah di benak para sahabatku. Saya menghargai akan hal itu. Akan tetapi keadilan tetaplah keadilan. Keadilan bukanlah kuasa mayoritas terhadap minoritas, Tapi keadilan adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tendensi kepentingan mayoritas dengan mendiskreditkan minoritas adalah jauh dari nilai keadilan.
Dan ternyata, tanpa sadar saya telah terjerumus pada lembah fanatisme golongan. Kebenaran yang terbentuk oleh sistem manusia bukan sistem Tuhan.
Wal 'Iyaadzu billahi.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّة وليس منا من قاتل علي عصبية وليس منا من مات علي عصبية
Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena ashabiyyah (HR Abu Dawud).
Introspeksi Diri.
Komentar
Posting Komentar