JUJUR PANGKAL KAYA



Kejujuran itu mahal, dan inilah yang menjadi alasan, mengapa saya mengambil tema “jujur pangkal kaya”. Setiap orang ingin bertindak jujur, diperlakukan dengan penuh kejujuran, mendambakan serta memprimadonakan kejujuran dan setiap orang berhak untuk jujur. Ini adalah fitrah bagi setiap orang. Percaya atau tidak, kejujuran itu mendatangkan berkah, baik berkah yang bersifat materi maupun immateri.

Jujur itu tidak bisa dibeli, apalagi kalau hanya ditukar dengan coklat. Kejujuran memang terlalu mahal jika diperjual belikan, kecuali jujurnya ala elit koruptor. Kalau mau jujur-jujuran, para koruptor itu sangat jujur, sampai-sampai karena saking jujurnya, mereka rela menggadaikannya dengan harga yang relatif murah dan bahkan murahan. Jujur banget kan? Tentunya, jujur yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah jujur yang dimaksud pada judul “jujur pangkal kaya” diatas karena jujurnya para elit koruptor sebenarnya adalah kebohongan yang dipoles dengan lipstik struktur aksara indah, sehingga kebohongan yang terlisan itu seolah-olah kejujuran. Dipermukaan terlihat jujur akan tetapi didalam penuh sesak dengan riuh kebohongan. Kebohongan yang bertopeng kejujuran.

Dulu, sebelum mendapat gelar terhormat sebagai “koruptor”, mereka lincah bersilat kata dan sangat jujur untuk membohongi rakyat dengan banyak janji yang diobral bahkan dilelang. Anehnya, masyarakat kita lebih suka dengan kejujuran yang digembar-gemborkan para koruptor, mereka hanya manggut-manggut saja, seperti kerbau yang mulutnya dicocok dengan anyaman bambu. Maklum, kejujuran para koruptor itu berbuah duit, meskipun masyarakat sejatinya tahu kalau duit yang diberikan itu dirogoh dari saku mereka sendiri.

Kejujuran sejatinya menjadi madrasah ketulusan, bergurukan keikhlasan dan bersilabuskan ketabahan. Mungkin, para koruptor belum mengenal madrasah seperti ini sehingga kejujuran-kejujuran yang diberikan seringkali beralamat palsu. Ketika mendapat proyek yang cukup menggiurkan dengan alokasi dana yang cukup spektakuler, alokasi dana yang bak anjungan sampah itupun ujung-ujungnya akan bermukim di ATM-nya sendiri. Ketika ditanya, mana alokasi dana yang banyak itu? Mereka hanya bisa nyengir sembari berkata, “kan alamat yang dikasihkan itu palsu, jadi dananya tersesat kemana-mana sehingga habis untuk ongkos jalan”. Hm, seperti lagunya ayu ting ting saja. Tak pelak karena akal bulus mereka, gelar terhormat sebagai rampok rakyatpun tak sungkan-sungkan disematkan sebagai lencana kebanggaan mereka, berumbul-umbulkan uang jarahan.

Para penjarah uang rakyat itu tentu bukanlah orang bodoh, bahkan mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Tidak sedikit diantara mereka yang bergelar profesor, doktor dan tingkat kesarjanaan lainnya. Mereka kaya dari segi finansial tapi mereka miskin secara spiritual. Melihat dari fenomena ini, kita disadarkan bahwa barometer kejujuran itu tidaklah diukur dengan tingkat pendidikan. Perilaku jujur itu sebenarnya keikhlasan hatinya untuk menghormati hak orang lain.

Melihat ilustrasi diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa kompleksitas kekayaan yang dihasilkan dari perilaku jujur lebih variatif, permanen dan berkah, jika dibandingkan dengan kekayaan yang didapat dari perilaku tidak jujur. Kejujuran menjadikan spiritualitas seseorang semakin kaya. Dengan berprilaku jujur, seseorang akan kaya teman, kaya ketenangan, kaya kebahagiaan, terhindar dari perasaan was-was, dan tentunya banyak lagi harta kekayaan yang bisa dihasilkan dari pola hidup jujur. Kejujuran adalah bagian dari harta berharga yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Kehilangan finansial kita dapat mengupayakan untuk mencari lagi, tapi jika kejujuran yang hilang, dimanakah kita akan mencarinya. Ini menandakan bahwa kejujuran adalah harta yang bernilai tinggi dan hanya orang-orang yang kaya yang dapat merasakan ranum nikmatnya buah kejujuran. Kejujuran dapat menjadikan pemiliknya tentram dan terhindar dari tekanan, baik tekanan dari luar maupun dari batin sendiri.

Diantara elemen penting yang menjadikan jujur itu berharga bagi seseorang adalah fungsi jujur itu sendiri. Jujur berfungsi sebagai titik keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan juga berfungsi sebagai obat penenang dari ketidak stabilan hati. Dengan berperilaku jujur, kehidupan seseorang akan lebih bermakna dan kaya akan nilai luhur. Dengan adanya itu semua, jujur menjadi teater kehidupan yang cukup asyik. Berapa banyak para pengangguran yang berkat kejujurannya ia kemudian direkrut oleh perusahaan ternama, berapa banyak pula para karyawan yang berkat kejujurannya dia kemudian diangkat jabatannya dan tentunya masih banyak lagi contoh-contoh riil dari keberkahan perilaku jujur.


Jujur Itu Obat

Setiap orang tentu pernah merasakan sakit, dan setiap penyakit pasti ada obatnya. Dalam dunia nyata sering kita jumpai orang-orang yang terhimpit rasa sakit dan tiap kali sakit tentunya mereka akan pergi berobat, dan ketika berobat orang yang sakit itu pastinya disuguhi obat. Obat itu harus ditelan meski pahit karena rasa pahit itu akan berimplikasi positif pada kesehatannya. Begitu juga dengan kejujuran. Sebagian orang menilai jujur itu pahit dan bahkan menyakitkan dengan rasa perih yang menghimpit dada. Tapi sadarkah kita, bahwa ketidak jujuran akan lebih menyakitkan hati kita dibandingkan jika kita berprilaku jujur. Pangkal dari segala kebohongan adalah ketidak jujuran dan ketidak jujuran akan menjadikan lahan yang subur bagi bibit yang bernama kerisauan, kegelisahan, rasa was-was dan ketidak tenangan batin. Perasaan tidak tenang menyebabkan seseorang galau dan kegalauan itu akan membunuh keharmonisan hidup seseorang tersebut secara perlahan, sehingga kehidupannya menjadi hampa dan tak bermakna. 

Sebenarnya, akar dari segala penyakit adalah rasa was-was, rasa bersalah, hati tidak tentram, pesimis dan tidak tenang. Ketidak tenangan akan menikam batinnya, perih menghimpit. Perlahan tapi pasti. Ketidak tenangan ini menjadikan seseorang yang terinfeksi virus tersebut tidak lagi fokus dengan apa yang ia kerjakan karena kehidupannya penuh dengan kebohongan. Biasanya virus ketidak tenangan ini bermula dari keberpura-puraan hidup. Seringkali kita jumpai seseorang yang sukanya hanya berpura-pura dalam interaksi kehidupannya. Menampakkan yang kebaikan ketika bersentuhan dengan publik dan merintis kejahatan manakala bersendirian. Saleh dimuka umum tapi munafik di hati nurani.

Inilah penyakit akut yang kerapkali mewabah pada sikap seseorang. Penyakit yang kemudian memicu ledakan kebohongan, kesewenang-wenangan, ketidak harmonisan jiwa seseorang. Membuat pemiliknya berperilaku murung, kontraksi saraf menjadi tegang, kegelisahan jiwa dan menjadikan pertentangan hebat dibatinnya. Yang demikian ini akan menjadikan beban berat bagi psikologinya.

Lantas, bagaimana cara mengobatinya? Pertanyaan semacam ini sangatlah penting untuk menebas sayap kebohongan sebelum sayap tersebut dikepakkan menjauh mengudara. Diantara langkah penting yang harus diterapkan adalah dengan menginjeksikan pola hidup “jujur”. Jujur menjadi obat penenang dibelantara riuh semerawutnya ketidak tenangan batin. Jujur menyerasikan tindakan dengan nurani sehingga pola hidup jujur ini akan merilekskan saraf yang berkontraksi hebat akibat ketegangan hidup.

Setiap manusia mengidolakan kebaikan, dan nurani kita menggiring pola hidup kita agar senantiasa bersikap jujur. Sikap jujur ibarat suplemen hati yang meningkatkan sistem imun kebaikan dan membersihkan hati dari parasit kebohongan dan ketidak jujuran dalam bersikap. Dengan demikian, jujur kemudian menjadi obat mujarab atas gelisahnya batin.

Jujur Itu Mecerdaskan

Saya percaya bahwa setiap manusia dilahirkan dengan fitrah kejujuran. Kejujuran menjadi aktifitas yang mengasyikkan jika kita mampu menikmati dan merealisasikannya. Pernah tidak, sewaktu kecil anda tidak dikasih uang jajan karena sering membohongi ibu? Pernah tidak, kertas lembar jawaban anda dirobek gara-gara mencontek jawaban teman? Jika anda anak kost, bagaimanakah perasaan anda jika barang-barang anda dipakai teman anda tanpa adanya ijin? bagaimana jika saat anda buru-buru mandi ternyata anda menjumpai ada bekas B-A-B yang mengambang belum disiram? Seperti apakah respond anda jika roda sepeda motor yang anda kendarai terpelanting gara-gara kulit pisang yang terbuang ditengah jalan?

Jujur, jika anda tidak suka dikucilkan ibu tentunya anda tidak akan membohonginya. Jujur, jika anda percaya bahwa menyontek hanya akan memperbodoh anda, tentunya anda tidak bakalan nyontek dan belajar dengan giat. Jujur, jika anda tidak suka barang anda dipakai teman anda tanpa ijin tentunya anda nggak akan memakai sandal teman anda tanpa ijin darinya. Jujur, jika anda merasa terganggu dengan bekas B-A-B yang mengambang belum tersiram, anda nggak bakalan meninggalkan B-A-B anda dalam keadaan tidak disiram. Jujur, jika anda tidak suka peristiwa na’as akibat jatuh dari sepeda karena kulit pisang, tentunya anda tidak akan membuang apapun di jalan raya.

Beradasarkan dari beberapa contoh diatas, sebenarnya perilaku jujur itu mencerdaskan orang-orang yang dengan kukuh menjadikan jujur itu sebagai mahkota disetiap tindakannnya. Jika seseorang sadar dengan sepenuhnya sadar, bahwa dana yang ia gelontorkan untuk sekolahnya di SD, SMP, SMA itu sangat banyak tentunya ia akan serius dan sungguh-sungguh dalam tiap kegiatan sekolahnya. Apalagi dana yang dia pergunakan untuk mengenyam bangku sekolah itu dihasilkan dari peluh orang tuanya yang tiada kenal lelah, membanting tulang dan menyerahkan punggungnya hitam disetrika oleh teriknya matahari, maka sudah barang tentu ia akan banyak belajar.

Bersikap jujur berarti sama halnya dengan mencerdaskan nurani. Hanya orang-orang cerdaslah yang menjadikan ketajaman intuisinya terbangun. Seorang yang sudah terlatih kecerdasan intuisinya, maka dia akan pandai dalam menyikapi diri karena ia tahu porsi tindakan yang akan dilahirkan dalam tiap perbuatannya. 

Jujur juga mengajarkan pemiliknya akan cerdas sosial. Cerdas sosial akan terbangun ketika kecerdasan intuisi terpupuk subur dalam dirinya. Kita ambil contoh saja, jika kita melihat seorang ibu dengan seorang anak mungil yang terisak getir memilukan digendongan tangan ringkih ibunya disebabkan karena sudah beberapa hari ibu dan anak tersebut tidak memasukkan sesuap nasipun untuk mengganjal perutnya. Lantas, bagaimanakah perasaan kita yang saat itu menatap jelas kepada mereka? tentunya, jika kita mau jujur dengan diri sendiri bahwa kita akan merasa sangat tersiksa jika berada diposisi seorang ibu dan anak tersebut maka sudah barang tentu hati kita akan tergerak untuk menolong mereka, meski hanya bisa membelikan sebungkus nasi untuk mereka berdua. Dan sebenarnya, sikap kepekaan diri seperti inilah yang menyebabkan diri kita semakin cerdas dalam mengamati dan mempelajari fenomena. 

Ketika manusia bisa menerapkan kecerdasan spiritual maka dimungkinkan bahwa kehidupannya akan berlangsung dengan harmonis, menjadi obat penyembuh penyakit ketidak adilan dan juga mendidik pemiliknya agar menjadi orang yang kaya. Baik kaya secara spiritualitas maupun kaya pada lingkup sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persamaan dan Perbedaan Filsafat Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam

Review Pengantar Evaluasi Pendidikan

Sejarah Singkat Himpunan Pemuda Muslim Mencorek (HPMM)