KOEDUKASI BERBASIS SEKULER – MATERIALISTIK
Goresan pena tinta akan terasa lebih manis lagi bermakna ketika
dinikmati, diresapi, dicermati serta dipahami oleh para akademisi dan kemudian
dikritisi secara skeptis-radikal, upaya ini diharapkan akan adanya wacana
dialektika membangun dari para akademisi yang mengkaji coretan ringkas ini,
hingga pada akhirnya ditemukan pemahaman diskursif dari penulis yang kemudian
akan menjadikan pelajaran berharga tersendiri bagi penulis untuk kedepannya.
Ketika celana kolor pendidikan bangsa melorot kedodoran dan sedikit
tersingkap aib penyakit akibat dentuman problem yang mencabiknya, maka
pendidikan bangsa yang sakit itu seakan mengguratkan wajahnya yang kian
terlihat pucat-pasih. Problematika yang menjajah progresifitas pendidikan
bangsa inipun seakan-akan menjadi deburan ombak lautan masalah yang tak kunjung
surut.Berbagai upaya rekonstruksi untuk perbaikan kwalitas diberbagai lini dan
sektor pendidikan sering kali dicanangkan, baik itu perbaikan sistem, reformulasi
kurikulum,upaya peningkatan kwalitas guru, hingga pengalokasian anggaran dana
sebesar 20%dari dana APBN-pun seakan tak mampu menjawab semua problematika
pendidikan bangsa yang kian menggurita. Bahkan, sebagai jawaban dari upaya
pemerintah itu,berbagai macam tragedi amoral mulai bermunculan dipermukaan,
baik itu budaya tawuran antar pelajar, praktek-praktek kecurangan serta
tindakan-tindakan asusila yang dibintangi para agen muda penerus bangsa dengan
disponsori oleh institusi-institusi pendidikan, seakan menjadi catatan hitam
tersendiri bagicitra buruk pendidikan bangsa ini. Hal ini merupakan kenyataan
dan fenomena sosial yang tidak bisa dibantah lagi, rapuhnya pondasi dunia
pendidikan negara ini merupakan representasi dari keadaan sistem edukasi imperalis
yang berbasis sekularistik-materialistik.
Akibat dari itu semua, bakteri krisis multi dimensional yang
menjangkiti masyarakat negeri ini mulai bercokolan dan mewabah dibeberapa
sektor kehidupan masyarakat, anomali kurang sehat itupun kemudian menjangkit
dengan pesatnya. Fenomena kedzaliman, diskriminasi, intimidasi oleh
oknum-oknumyang tidak bertanggung jawab, ketidakmerataan bantuan pendidikan,
politisasi pendidikan, mafia hukum,tindakan represif yang dilakukan oleh para
aristokrat, kemiskinan struktural,kemerosotan moral, praktek kecurangan,
ketidakadilan, legalitas asusila serta patologi sosial yang lainya telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Problematika pendidikan ini tiada habis-habisnya mengobok-obok
kesemrawutan pendidikan bangsa yang kian terpuruk dan amburadul, ibarat benang
kusut yang sulit untuk dibesut dan diurai kembali. Bahkan persoalan-persoalan
klasik masih saja memberikan kontribusi dan berlomba-lomba untuk memburamkan
wajah pendidikan bangsa yang kian memburam ini. Pereduksian kurikulum
pendidikan agama digadang-gadang menjadi pemicu persoalan ini. Pereduksian
cakupan pendidikan agama dalam pendidikan bangsa terasa sedikit demi sedikit
mengikiskan nilai norma luhur yang teraplikasikan di masyarakat,sehingga itu
semua kemudian berdampak pada praktek interaksi yang tidak harmonis antar warga
masyarakat.
Pereduksian materi ajar agama dalam institusi pendidikandan praktek
pendidikan yang berbasis sekuler-materialistik sebagaimana terlansir diatas
dapat dibuktikan secara empirik dengan mengkritisi kembali UU Sisdiknas Nomor
20 Tahun 2003 Bab IV tentang jalur, jenjang dan jenispendidikan bagian kesatu
(umum) pasal 15 yang berbunyi, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, provesi, advokasi, keagamaan dan khusus.” (Briyan S.
Turner, Weber and Islam, hlm.316).
Kritik-analitis yang mengidentifikasikan akan adanya proses
infiltrasi pendidikan sekuler-materialistik pada pasal diatas nampaklah jelas.
Pada pasal tersebut tersirat sebuah makna dengan sangat gamblang akan adanya
dikotomi pendidikan. Partisi yang memisahkan antara pendidikan umum dan
pendidikan agama merupakan entitas yang tidak bisa diganggu gugat lagi akan
adanya upaya dikotomisasi pendidikan. Sistem dikotomis pendidikan semacam ini
terbukti telah gagal dalam mencetak dan melahirkan generasi insan kamil yang
berkepribadian profetik, sekaligus menjawab tantangan zaman yang terus
berkembang di era globalisasi seperti saat ini.
Dalam teori modern di katakan bahwa “pendidikan adalah investasi
masa depan”. Secara implisit teori ini mengajak seseorang untukmengeruk
pundi-pundi materi sebanyak-banyaknya untuk bekal kedepannya. Tidak terbatas
pada teori modern, prinsip ekonomi yang diajarkan pada bangku sekolah menengah
juga turut meramaikan prospek materialisme di bumi pertiwi. Prinsip ekonomi itu
berbunyi, “keluarkan modal sesedikit mungkin dan hasilkan keuntungan yang
sebesar-besarnya”. Tentunya, prinsip seperti ini tidaklah sepenuhnya salah.
Akan tetapi jika moral spiritual dimarginalkan dan dinegasikan dengan mereduksi
komponen terpenting dalam fitalitas pengajarannya, maka disadari atau tidak
bahwa pendidikan tersebut akan memproduksi generasi berpenyakit pragmatis
terpelajar dengan berideologikan sekulerisme-materialistik.
Berorientasi pada pemahaman diatas maka sudah sepatutnya pendidikan
bangsa ini untuk mereformulasi sistem pendidikan yang ada dengan memberikan
porsi yang cukup proporsional untuk pengajaran pendidikan agama serta
mengupayakan guru yang benar-benar kompeten dan mempunyai kapabilitas dibidang
keagamaan. Upaya semacam ini dimaksudkan untuk memperbaiki moral masyarakat dan
mereduksi candu morfin kriminalitas yang kian marak dikampanyekan berbagai
media dan disegala lini kehidupan.
Demikian deskripsi-analitis singkat tentang potret hitam pendidikan
bangsa beserta dinamikanya. Semoga diskripsi-analitis singkat ini bisa sedikit
mengobati dahaga pengetahuan para
pembaca. Salam perubahan!
Wasalamu’alaikum wr, wb.
Taqwim, Penggiat Rumah Tulisan di LSO-FORSIFA FAI UMM 2011
Komentar
Posting Komentar