MUSIBAHKU
Malam itu terasa begitu mengerikan, langit
mendung dengan gulungan awan pekat yang datang beringsut-ingsut memburamkan
wajah malam, hujan rintik-rintik disertai riuh angin yang menusuk tulang
membuat orang-orang kampung enggan untuk keluar, bahkan untuk sekedar bermain
ke rumah teman atau tetangga-pun mereka akan berfikir dua kali.
Disaat cuaca yang cacat tidak bersahabat, kupaksakan
diri untuk keluar rumah. Kusanggul tas kumalku yang berisikan laptop.
Kukeluarkan sepeda matic bermerek soul dari rumah. Sepeda yang baru saja dibeli
mbak beberapa bulan lalu yang dihasilkan dari jerih payahnya selama
bertahun-tahun. Sejurus kemudian, kupacu sepeda motor matic tersebut membelah
hawa dingin udara malam yang disertai rerintik hujan. Dingin mulai merambah, menjalar
menegakkan bulu kuduk, akan tetapi semua itu tidak kuhiraukan sepeda terus
kupacu menyisiri tepian jalanan becek penuh lubang dan genangan air. Biasa,
jalanan kampung saya memang tergolong jalanan rusak dan juga licin jika hujan
mengguyur.
Kini bulu kuduk itupun tegak sempurna.
Kulemparkan pandangan kekanan dan kekiri. Jalanan lenggang, tiada seorangpun
yang kutemui di jalan. Suasana sunyi, kondisi malam yang gegap gempita, Suara
binatang malam menambah kesan seram pada moment kala itu apalagi dengan diimbuh
padamnya lampu penerang jalan. Lengkap sudah, jalanan sekitar 2 km yang
menghubungkan kampung saya dan kampung sebelah itu menjadi tempat yang seram
mencekam.
Kini saya sudah sampai pada jalanan beraspal
penuh lubang disebelah barat POM bensin Brondong yang saat itu hujan mulai mengguyur.
Hujan semakin lebat, gulungan angin semakin berdesis ribut, jalanan semakin
licin akibat guyuran hujan, jalanan yang berlubang semakin samar terlihat. Rasa
tanggung jawab untuk menjemput mbak semakin bergelayut. Kupacu sepeda matic
tersebut dengan kecepatan 60 km, hingga akhirnya saya baru menyadari ada lubang
besar dengan air yang menggenang tepat didepan saya. Segera, kubelokkan sepeda
dengan tiba-tiba. Karena tidak siap dengan drama tanpa aba-aba itu dan akhirnya
“Srakkkk.....”, tubuhku kemudian terpelanting menghantam aspal, sepeda
yang kunaiki terlempar sejauh beberapa meter dariku dengan spion yang terlempar
entah kemana. Saya terseret bergesekan hebat dengan aspal, telapak tanganku
kurelakan bergesekan keras dengan aspal yang penuh lubang tersebut sehingga
menjadikannya sobek penuh luka. Celana jeans yang kukenakan sobek dibagian
paha, pahakupun terkoyak seperti cakaran binatang buas. Pedih sekali. Kaki
dipenuhi lebam memar, luka dengan kulit terkelupas. Saya merintih kesakitan. Tidak ada orang yang
menolong. Karena saat itu jalanan benar-benar sepi.
Saya lantas beristigfar dan bersyukur sambil
menahan perih atas musibah ini. Saya beristighfar karena terlalu banyak dosa
yang telah kuperbuat, jiwaku penuh dengan limbah dosa berkubang maksiat. Dan
saya bersyukur karena Tuhan masih memberikan kesempatan untukku berbenah diri.
Padahal saat itu saya lihat dengan jelas truk besar yang datang begitu kencang
dari arah yang berlawanan. Wajahku pucat pasi saat roda truk tersebut melintas
tepat disamping kepala saya. Andaikan bergeser sedikit saja, tentunya kepalaku
sudah remuk terlindas roda tersebut. Nafasku tersenggal, mendengus ketakutan.
Bibirku basah dengan gumaman Istigfar. Astagfirullah... astaghfirullah...
astaghfirullah...!!! pikiran kematian mulai merambah bergelayut diotakku.
Berkali-kali kudenguskan nafas ketakutan itu.
Segera saya berdiri. Lupa dengan sobekan luka ditangan
dan dikaki yang mengucur darah segar pada sayatan luka tersebut, mengejar
sepeda ambruk tanpa penumpang yang terlempar jauh didepanku. Kuberdirikan
sendiri sepeda tersebut, lantas kutepikan. Batinku bergumam, “untung posisi
jatuhku tidak bergeser keselatan sedikit sehingga tidak terlindas truk dan
untung punggungku tidak melindas laptop”. Bola mataku mulai bergerilya
menyisiri bekas jatuhku tadi, mencari-cari barang saya yang jatuh berserakan.
Kutemukan sandal dan HP yang tergeletak tepat ditempat jatuh itu. Segera
kuambil kedua barangku tersebut. Saya tidak menyadari, ada beberapa bagian dari
sepeda yang terlempar dan menghilang. Kini kurenungi sepeda matic reot yang
berdiri tersiksa dihadapan saya. Perasaan bersalahpun mulai bergelayut. Entah
saya harus bilang apa kepada mbak-ku? Aku bingung. Kepalaku mulai pening.
Dengan menahan pedih yang menggigit luka, kupacu
sepeda yang sekarang jalannya tidak sempurna. Ku urungkan niatku untuk
menjemput mbak setelah membaca pesan singkat yang belum sempat saya baca. Pesan
itu berbunyi, “tidak usah jemput karena nanti adek yang akan jemput”. Segera
kurogoh saku, mencari ponsel. Kutelpon adekku untuk menjemput mbak serta
kukabarkan apa yang baru saja terjadi. Laptop yang tadi kubawa untuk sejenak
melihat hasil nilai UAS segera kubawa kembali pulang.
Kini, setelah sesampainya dirumah tubuhku
lantas kubanting diatas kasur, onggokan tubuh terkulai lemas menahan pedih,
merintih penuh kesakitan. Jemari terasa perih akibat koyakan tadi.
Bahkan untuk menekan tut-tut keyboard-pun terasa begitu sakit. Lebam, memar dan
luka seperti cakaran memadati paha, betis, siku dan telapak tangan. Pedih
teriris terasa. Pedihku terasa bertumpuk-tumpuk ketika mengingat kembali
keadaan sepeda yang reot. Kepalaku terpekur lesu. Pening, penuh sesak akan rasa
bersalah.
Barang-barang kemasan yang berada disamping
saya seakan menjadi saksi semua kepedihanku. Barang-barang tersebut adalah
barang-barang yang akan kubawa balik ke Malang besok, tapi sepertinya barang-barang
tersebut akan bermalam lebih lama dikamar saya.
Pedihku semakin bertambah ketika mengingat
tanggung jawab saya. Saya terkapar lemah penuh luka dengan meninggalkan
beberapa tanggung jawab, diantaranya:
1. Project merintis perpustakaan umum yang akan ditempatkan di Masjid kampung.
Teman-teman HPMM, proposal masih banyak ditangan saya,
tolong disebarin. Buku yang sudah terkumpul sampai saat ini ada sekitar 4
kardus. Proposal yang sudah tersebar diantaranya di pak kades, pak kasun, mbak
mita, pabrik 88 dan mbak estik, untuk yang lain menyusul. Tolong yang bisa
ngedarin agar segera diedarin.
2. Project cetak majalah LSO-FORSIFA UMM.
Buat mbak rani, tolong segera diselesaikan mbak proposal
ke MAWA-nya. Tanda tangannya dikasih atas nama saja.
3. Tanggung jawab terhadapa anak-anak didik Panti Asuhan Muhammadiyah.
Maafkan
aku adik-adik-adikku, Hamim, Herianto, Rais dan Abu, semoga kalian bisa belajar
mandiri. Permohonan maafku juga kepada teman-teman seperjuangan yang tengah
berjuang untuk Panti; Mas Zuheri, Mas Khusnul, Mas Dzul dan Mas Ola. Semoga
kegigihan kalian membuahkan hasil nantinya. Amin.
Maafku kepada semua teman-temanku. Semoga catatan
disaksikan derita perih ini menjadi saksi atas semua kejadian ini. Catatan ini
bukanlah saya maksudkan untuk mengharap belas kasih, akan tetapi hanya sedikit
mendiskripsikan kejelasan peristiwa yang kualami agar tidak terjadi salah persepsi
dan juga biar tidak terkesan lari dari tanggung jawab.
Mencorek, 24 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar