Ta'ziyah Institusi Pendidikan
BELASUNGKAWA
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN ISLAM
Oleh, Taqwim
Pendidikan merupakan faktor terpenting dalam struktur sosial karena
pendidikan merupakan jalan yang cukup strategis dalam menanamkan nilai-nilai
struktural kerakyatan. Melalui pendidikan, manusia bisa menyadari potensi yang
ada pada dirinya. Oleh karena itu, banyak para tokoh pendidikan menyadari bahwa
pendidikan merupakan proses humanisasi.
Dalam definisi Ki Hajar Dewantara, ia mengartikan pendidikan
sebagai proses penyadaran diri manusia. Sehingga ia mendefinisikan bahwa
pendidikan bukan hanya menciptakan manusia-manusia yang cerdas secara akademik,
akan tetapi mendidik berarti membimbing manusia pada budi pekerti yang positif
sehingga menjadi masyarakat yang beradab dan bersusila.
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang
holistik serta mampu membawa manusia pada keterbukaan dunia secara universal,
sehingga tahap akhir dari proses pendidikan tersebut adalah menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapinya baik internal (self) maupun
lingkungannya (problem solving).
Rumusan dari tujuan pendidikan tersebut terangkum pada
Undang-Undang tentang pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950, yakni membentuk /
membangun manusia religius, cerdas, dan Nasionalis.
Hal inipun dipertegas dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang System
Pendidikan Nasional, yang tercantum pada pasal 4 menjelaskan bahwa pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan bangsa.
Akan tetapi, pada kurun waktu belakangan ini masyarakat kita terus-terusan
dirundung pilu bela sungkawa. Pasalnya, problem pendidikan yang berkepanjangan
seakan-akan tiada berakhir. Belum lagi satu permasalahan teratasi nasib pilu
kembali merundung pendidikan bangsa. Problematika datang bertubi-tubi untuk
berkontribusi memburamkan prospek pendidikan bangsa. Sepertinya, apa yang
dicita-citakan pemerintah yang dituangkan dalam UU diatas itu bagaikan “punguk
merindukan bulan”. Masih banyak PR yang harus diselesaikan dalam pendidikan
bangsa ini.
Sampai saat ini perkembangan pendidikan Islam di Indonesia masih
dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang cukup mendasar. Permasalahan itu
menyangkut berbagai perangkat pendidikan yang mendukung pada kualitas
pengembangan akademik dan sarana yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan
dari suatu proses pembelajaran.
Tantangan yang harus diperhitungkan dalam perkembangan pendidikan
Islam kedepan adalah tantangan internal dan eksternal. Tantangan eksternal
lebih merupakan berbagai perubahan yang dialami masyarakat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kini dan akan datang. Berbagai tantangan
itu secara lambat atau cepat akan ikut serta mendorong terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat.
Berkenaan dengan hal itu akan muncul berbagai akses dan tantangan
dalam perkembangan pendidikan Islam baik yang lahir dari dorongan internal
maupun eksternal. Tantangan internal pendidikan Islam dapat dilihat dari aspek
landasan filosofis pendidikan Islam dan tataran perencanaan maupun pelaksanaan
di lembaga pendidikan.
Landasan filosofis pendidikan Islam terlihat dengan adanya berpikir
dikotomis dalam pengembangan ilmu pengetehuan di kalangan ilmuan dan umat Islam
sendiri. Namun saat ini pola pemikiran seperti itu sudah terlihat menuju
integrated keduanya dan pendidikan Islam diharap dapat merombak pola pikir
seperti itu, sehingga umat Islam memiliki landasan filosofis tentang “kesatuan”
ilmu pengetahuan.
Sedangkan, faktor tatanan perencanaan dan pelaksanaannya terkait
erat dengan problem holistik yang mengitari sistem pendidikan Islam, termasuk
politik pendidikan Islam di Indonesia. Faktor ini masih berkembang dalam
perjalanan pendidikan Islam di Indonesia.
Selain masalah dan tantangan internal dan eksternal yang terus
membayangi sitem pendidiakn Islam, adalah opini publik yang barangkali patut
dibenarkan adalah bahwa “kemiskinan” bisa menutup akses kemajuan umat, termasuk
salah satunya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas
bagi masa depannya. Biaya sekolah mahal! Itulah keluhan yang sering muncul di
kalangan masyarakat bawah yang nota bene mayoritas beragama Islam.
Telah banyak konsep yang dikemukakan, yang pada intinya menggagas
upaya penyediaan pendidikan bagi kaum muskin. Hal ini berangkat dari fenomena
nyata di lapangan banyaknya anak terlantar dan putus sekolah. Di Indonesia
pernah disosialisasiakan program “Education for all “, “Ayo sekolah” dan
sederet program lain yang bertujuan sama kian digencarkan.
Dalam konteks terakhir inilah kebutuhan pada filantropi
(kedermawanan) secara khusus untuk pendidikan terasa semakin dibutuhkan dan
mendesak. Korelasi antara pendidikan dan kemiskinan sudah lama menjadi isu
sentral di banyak negara, baik negara maju maupun berkembamg.
Bahkan di negara maju seperi Amerika serikat, permasalahan muncul
sebagai akibat besarnya subsidi yang diperuntukan bagi kelompok masyarakat
miskin. Sedangkan di Indonesian misalnya, permasalahannya terletak pada
ketidakadilan dalam memperolah akses pendidikan, antara si kaya dan si miskin.
Hal ini terlihat jelas, bahwa biaya penyekolahan anak dalam sistem
pendidikan formal, bagi orang kaya maupun miskin relative sama (seperti di
sekolah-sekolah negeri). Penyebabnya adalah, yang lebih kurang pembiayaannya
ditanggung oleh pemerintah justru banyak diduduki oleh anak-anak orang berada
maupun kelas menengah.
Disisi lain, anak-anak dari kelompok masyarakat miskin (yang
dikarenakan minimnya potensi akademis) harus rela mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah
swasta, yang pembiayaannya dipikul oleh mereka sendiri.
Memang ironis sekali kedengarannya, umat Islam yang mayoritas justru
termarjinalkan dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam mendapatakan
pendidikan. Bagi kebanyakan mereka bisa mengenyam pendidikan dasar saja
merupakan suatu keberuntungan dan harus melalui kerja keras dan pengorbanan
materi yang tidak sedikit.
Di lain pihak,mereka harus bertahan hidup dalam keterbatasan dan
kekurangan. Dan pendidikan Islam adalah alternatif pertama dan terakhir bagi
mereka meski lembaga-lembaga pendidikan Islam itu pada umumnya jauh dari
memadai apalagi ideal dalam sarana dan prasarana, tenaga pengajar dan komponen
pendidikan lainnya.
Melihat kenyataan ini, sebagai warga Indonesia yang mayoritas
beragama Islam sudah sepatutnya bagi kita agar melakukan revitalisasi
diberbagai sektor dan lini pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan yang
ada pada bangsa ini tidak lagi memihak, sehingga pendidikan untuk semua yang
pernah dicanangkan oleh pemerintah melalui program kerjanya dapat
diimplementasikan secara baik dan merata.
Belasungkawa yang berputar pada dialektika berfikir warga Indonesia
yang nota bene-ya mayoritas beragama Islam haruslah membumi, tidak lagi
menggantung tinggi di langit dan tidak pula hanya berkutat pada hal-hal yang
bersifat konseptual teoritis. Pada kondisi seperti sekarang ini, masyarakat
Indonesia rindu akan implementasi praksis yang tidak memihak. Oleh karena itu,
peran sentral kaum dermawan sangat dibutuhkan untuk menopang bangunan finansial
pendidikan Islam, sehingga dengan ini pendidikan Islam di Indonesia bisa
teraplikasikan secara adil dan merata serta tidak memihak.
Sebagai warga negara yang baik, marilah berbelasungkawa terhadap
pendidikan negeri ini dengan turut berta’ziyah dan sedikit mendermakan harta
yang kita punya. Semoga dengan usaha yang sederhana ini, masa depan pendidikan
bangsa lebih menjanjikan kedepannya dari pada sebelumnya.
Tentunya, ini semua tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan
pemerintah. Pemerintah harus lebih peka terhadap permasalahan ini, dengan
memperhatikan pemerataan bantuan pendidikan bagi kalangan papa harta dan juga
memperhatikan sarana dan prasarana bagi institusi-institusi pendidikan, sehinga
premis lembaga pendidikan pinggiran miskin sarana dan prasarana tidak lagi
menjadi momok yang menghantui masyarakat kelas bawah. Disamping itu, pasokan
guru-guru berkualitas menjadi harga mati untuk mengkualitaskan lulusan-lulusan
dari tiap-tiap lembaga pendidikan. Semoga dengan diterapkannya semua gagasan
ini, pendidikan bangsa, terkhusus pendidikan yang berbasis Islam tidaklah lagi
dirundung dilema yang berkepanjangan.
Komentar
Posting Komentar